Tuesday, November 19, 2024
Home » Artikel » The Great Great Ocean Road

The Great Great Ocean Road

by admin
Twelve Apostles

Sesuai namanya, Great Ocean Road ini memang grrrrreat! Bahasa alay-nya gr8 :p Dan cara terbaik untuk menikmatinya adalah dengan slow road trip.

Jalan sepanjang 243 kilometer ini dibangun pada tahun 1919 – 1932 oleh tentara Australia yang pulang perang dunia pertama. Rute B100 ini menyusuri pantai selatan negara bagian Victoria, dari kota Torquay sampai Warrnambool. Great Ocean Road ini alasan utama kami melakukan road trip dari Adelaide ke Melbourne. Biasanya orang-orang datang dari jalur sebaliknya: Melbourne ke Adelaide. Untuk turis yang waktunya mepet dan tidak sempat melakukan road trip, tetap bisa mengunjungi Twelve Apostles (atraksi utama di GOR ini) dengan ikut tur satu hari. Cek pilihan operator tur di website resmi pemerintah Victoria ini.

Saya tidak begitu suka ikut tur karena tidak bebas berhenti sesuka hati dan kurang nyaman kalau membawa anak-anak. Takut precils rewel dan ditimpuk orang satu bis, hehe. Dari Melbourne, 12 Apostles bisa dicapai dalam 3 jam perjalanan dengan mobil/bis. Trip satu hari biasanya berangkat dari Melbourne jam 7 pagi dan sampai kembali ke kota jam 9 malam. Atau ada juga trip yang berangkatnya lebih siang, tapi tempat perhentiannya lebih sedikit. Biasanya mereka berhenti sekitar 15 menit di tempat-tempat menarik dan sampai 45 menit khusus di Twelve Apostles. Rute perjalanannya pun tidak sampai ke Warrnambol, biasanya hanya sampai Port Campbell, beberapa menit setelah 12 Apostles (dari arah Melbourne). Harga tur ini tergantung operator dan fasilitas yang disediakan, antara $75 – $150 per orang. Sila baca blog Tesya dan blog Vicky yang pernah mengikuti tur satu hari Great Ocean Road dari Melbourne.

Kami memulai GRO ini dari Warrnambol, kota kecil yang cantik, dengan taman bermain yang bagus dan luas, dan pantai yang panjang dan indah. Pantai di Warrnambol ini juga terkenal sebagai tempat untuk melihat migrasi ikan paus. Keluarga yang ingin melakukan road trip 2-3 hari dari Melbourne, dan tidak melanjutkan ke Adelaide, saya menyarankan untuk menginap di sini.

Keluar dari Warrnambol, kami mulai benar-benar menyusuri pantai, tapi belum melihat lautnya karena terhalang semak-semak. Perhentian pertama kami adalah di Bay of Islands. Mulut saya langsung menganga lebar melihat pemandangan karang-karang yang terlepas dari induknya. Kata-kata tidak bisa melukiskan keindahan yang ada di depan mata saya *tsah* Laut di depan kami benar-benar liar, tidak heran kalau terjadi korosi dan memisahkan karang-karang kapur ini dari daratan. Angin bertiup kencang sampai membuat air laut tempias ke atas. Si Ayah buru-buru melindungi kameranya dari air asin. Little A cukup terkesan dengan pemandangan laut ini tapi Big A ogah-ogahan :p Melihat langit dengan awan hitam bergulung-gulung, kami hanya singgah sebentar di Bay of Islands ini dan segera melanjutkan perjalanan.

Banyak persinggahan yang bisa dinikmati sepanjang perjalanan GRO ini, tapi kami hanya bisa memilih yang ‘penting-penting’ saja. Tanda tempat yang menarik sangat jelas terlihat dari jalan, dengan fasilitas tempat parkir dan kadang toilet umum. Perhentian selanjutnya adalah London Bridge. Ini bukan tiruan jembatan di London sana ya. Tadinya karang ini bernama London Arch, bentuknya mirip jembatan dengan dua lengkungan (busur) di bawahnya. Pada tahun 1990 jembatan ini runtuh, dan dua orang turis yang sedang ada di ujung harus diselamatkan dengan helikopter. Setelah kejadian itu, formasi karang ini dijuluki London Bridge, seperti lagu anak-anak Inggris yang terkenal: London Bridge is falling down… falling down…

Setelah melewati London Bridge, kami mulai banyak melihat bis-bis pariwisata yang lalu lalang, yang membawa rombongan turis dalam tur sehari. Sebelum melanjutkan perjalanan ke twelve apostles, kami melipir sejenak ke kota kecil Port Campbell untuk makan siang. Kota ini adalah kota yang paling dekat dengan Twelves Apostles, hanya 15 menit bermobil. Tapi saya tidak merekomendasikan tempat ini untuk menginap karena tidak banyak yang bisa dilihat. Tadinya kami ingin makan di restoran, tapi tidak menemukan tempat makan yang cocok (dengan selera dan kantong kami). Lalu di pinggir jalan, mata saya menangkap papan tulis di trotoar yang bertuliskan: Indomie Goreng $7. Wah, seketika saya menelan air liur. Kepala saya segera memroses ‘kode’ yang diberikan warung tadi. Kami merapatkan campervan di tempat parkir di tepi dermaga dan mulai memasak Indomie Goreng yang selalu kami bawa untuk keadaan darurat 😀 Ah, nikmatnya makan Indomie goreng dan telur ceplok di depan teluk kecil, ditemani burung-burung camar yang mencuri-curi kesempatan…

London Bridge (is falling down)
Bis nya tenggelam di semak-semak :p

Dari awal perjalanan kami melewati rute B100, langit tidak menunjukkan tanda-tanda akan tersenyum. Awan-awan hitam terus-menerus menghantui perjalanan kami. Setelah makan siang istimewa di Port Campbell, kami melanjutkan perjalanan dan singgah di Loch Ard Gorge.

Gorge atau ngarai sempit ini dinamai sama dengan kapal yang kandas di sini pada tahun 1878. Kapal Loch Ard ini mengakhiri tiga bulan perjalanannya dari Inggris menuju Melbourne. Dari 54 penumpang hanya ada dua yang selamat: Tom (15 tahun) dan Eva (17 tahun), imigran dari Irlandia. Kita bisa turun ke pantai di gorge tempat Tom dan Eva bertemu. Sayangnya kami tidak sempat turun karena harus menuntaskan perjalanan sampai ke Twelve Apostles, sebelum hujan turun!

Loch Ard Gorge

Hanya sekitar sepuluh menit dari Loch Ard Gorge, kami sampai juga di destinasi jalan-jalan yang sudah saya kami idam-idamkan sejak lama. Tempat parkir untuk melihat formasi karang yang populer ini sangat luas. Kios informasinya pun sangat bagus, dilengkapi dengan cafe yang menjual kopi, camilan dan suvenir dan tentu dilengkapi toilet yang bersih dan nyaman. Dari jauh kami mendengar raungan helikopter yang melayang-layang di udara. Naik helikopter adalah salah satu cita-cita saya yang belum tercapai. Mahal banget Kak! Untuk terbang sekitar 15 menit, kita perlu merogoh kocek $145 per orang atau sekitar satu setengah juta rupiah. Masih tertarik? Boleh intip website operator helikopter di sini.

Untuk menikmati pemandangan Twelve Apostles, kita harus menyeberang melewati terowongan di dekat kios informasi. Begitu sampai di look out, mata saya menyaksikan pemandangan yang sudah biasa saya lihat di kartu pos dan brosur dan website, hanya saja kali ini benar-benar nyata, tiga dimensi. Formasi batu karang ini memang menakjubkan, dengan latar belakang tebing merah, pantai keemasan, laut biru dan alam sekitarnya yang terjaga. Kalau saja langit cerah, kami bisa menyaksikan sunset yang sangat menawan dari titik ini. Tapi karena awan mendung bergulung-gulung, foto-foto yang kami hasilkan pun tidak seindah warna aslinya. Saya sudah cukup bersyukur bisa menyaksikan pemandangan menakjubkan ini tanpa hujan. Kalau sampai hujan, duh, bisa hancur karir saya sebagai travel blogger, hehe.

Selain pemandangan alamnya yang memang mengagumkan, saya juga kagum pada kehebatan departemen pariwisata Victoria mempromosikan salah satu ikon Australia ini. Dulunya, formasi karang ini dinamai Sow and Piglets (Babi dan anak-anaknya). Tapi karena dirasa kurang menguntungkan untuk pariwisata, pada tahun 1922 mereka memberi nama baru: The Apostles. Akhirnya agar lebih komersil, formasi karang ini dinamai Twelve Apostles, seperti jumlah murid Yesus, meskipun karangnya sendiri hanya sembilan. Sekarang kita hanya bisa melihat tujuh karang karena satu karang runtuh pada tahun 2005 dan satu lagi runtuh tahun 2009. Yang belum sempat dan ingin menyaksikan keindahan alam ini, sebaiknya cepat-cepat datang sebelum karang-karang yang lain runtuh. Kecepatan erosi di laut ini sekitar 2cm per tahun. 

Saya sendiri masih bercita-cita untuk melakukan trekking Great Ocean Walk, agar bisa menyibak keindahan dari balik semak dan turun ke pantainya yang keemasan. Sementara ini, baru bisa bermimpi sambil mengintip website Great Ocean Walk.

Kios Informasi di Twelve Apostles
Twelve Apostles

Setelah puas menikmati keindahan twelve apostles, titik hujan mulai turun. Saya mengajak The Precils berlari menuju kios informasi, yang untungnya masih menyediakan kopi panas untuk menghangatkan suasana. Sore dan malam itu kami melanjutkan perjalanan menembus hutan Otway dalam hujan lebat. Saya sampai takut sekali melalui jalan berliku di hutan karena jarak pandang yang cuma beberapa meter. Sudah jam tujuh malam ketika kami sampai di Apollo Bay dan belum juga menemukan caravan park untuk parkir. Agak kapok sampai ke caravan park malam-malam, karena susah melihat rambu jalan bergambar caravan park berwarna biru. Akhirnya kami menemukan juga Pisces Caravan Park dan cek in di menit-menit terakhir sebelum resepsionis tutup.

Kakatua bebas beterbangan di pantai Lorne


Apollo Bay cukup cantik untuk dijadikan tempat menginap, asal cuaca cerah 🙂 Kami tidak begitu beruntung, dihantam badai sepanjang malam dan masih ada sisa gerimis esok harinya ketika kami cek out. Untungnya Tuhan berbaik hati menghadiahi kami langit yang cerah, sebentar saja ketika kami istirahat makan siang di Lorne.

Lorne adalah kota kecil tepi pantai yang sangat cantik, mengingatkan saya pada satu strip jalan di pinggir pantai Bondi. Di sini ada taman bermain yang sangat luas, dengan berbagai macam permainan menarik. The Precils betah sekali di sini. Saya juga lumayan betah meskipun harus memasak makan siang (biasa, Si Ayah tidak mau keluar uang untuk beli makan di warung) dari dalam campervan dan makan di mobil. Nggak masalah sih, karena pemandangan dari campervan yang kami parkir di tepi pantai ini sungguh menarik: burung kakatua yang kasmaran, burung-burung centil berwarna pink yang melompat-lompat lucu, dan orang-orang yang berjalan di atas air (stand up paddle surfing). Kalau sempat menjelajah GOR ini, saya akan memilih menginap di kota ini.

Jogging track di Torquay

Torquay adalah kota di ujung rute Great Ocean Road. Kami menginap semalam di sini sebelum esok harinya melanjutkan perjalanan ke Melbourne. Sepanjang perjalanan dari Lorne ke Torquay kami disuguhi pemandangan indah, setiap belokan memunculkan kejutannya sendiri. Rute ini memang dibangun di sepanjang pantai sehingga kita bisa melihat keindahan pantai, inlet, muara sungai sambil berkendara. Panjangnya road trip tidak terasa kalau kanan kiri ada yang sedap dipandang. Kata Si Ayah, “Aku rela sepuluh hari jadi sopir kalau pemandangannya seindah ini setiap hari.”

Kode untuk merencanakan road trip lagi? :p

 ~ The Emak

Leave a Comment

©2022. All Rights Reserved.